Ahibbati fillah, kunci kebahagiaan dalam hidup ini ada tiga:
Bersyukur ketika mendapatkan nikmat,
Bersabar saat menghadapi musibah,
Beristigfar setelah berbuat dosa.
Hidup tidak selamanya berada di atas; adakalanya kita bersedih setelah tertawa atau sebaliknya. Saat menerima nikmat dari Allah ﷻ, tugas kita adalah bersyukur, meski kenyataannya, bersyukur itu tidak mudah.
Bersyukur Ketika Mendapatkan Nikmat
Allah ﷻ telah mengingatkan bahwa hanya sedikit dari hamba-Nya yang pandai bersyukur,
"Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur."
(QS Saba': 13)
Ditambah lagi iblis yang bersumpah untuk menjadikan manusia kufur nikmat,
"Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur."
(QS Al-A'raf: 17)
Kisah Qarun dan Nabi Sulaiman memberikan pelajaran bagi kita tentang bagaimana menyikapi nikmat Allah ﷻ. Qarun adalah simbol kesombongan atau ketidaksyukuran terhadap harta yang Allah titipkan. Ia berkata,
"Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku."
(QS Al-Qashash: 78)
Namun, Allah ﷻ membinasakannya bersama seluruh hartanya. Dari peristiwa tersebut, istilah "harta Qarun" atau "harta karun" menjadi simbol kekayaan yang akhirnya tidak bermanfaat. Sebaliknya, Nabi Sulaiman yang juga diberikan kekayaan luar biasa, justru berkata,
"Ini adalah karunia dari Rabb-ku."
(QS An-Naml: 40)
Nabi Sulaiman menyadari bahwa semua nikmat adalah ujian, apakah seseorang bersyukur atau kufur. Allah ﷻ berpesan agar kita memanfaatkan apa yang telah diberikan-Nya untuk mengejar kehidupan akhirat tanpa melupakan hak kita di dunia,
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia."
(QS Al-Qashash: 77)
Harta yang kita kumpulkan di dunia tidak akan kita bawa ke akhirat. Maka, gunakan sebagian untuk kebaikan, seperti bersedekah, dan tanpa melupakan kebutuhan keluarga.
Bersabar Saat Menghadapi Musibah
Dalam kehidupan rumah tangga, setiap pasangan dihadapkan pada ujian kesabaran. Bagi para suami, bersyukurlah jika istrimu tidak seburuk istri Nabi Nuh atau istri Nabi Luth, yang kelak dimasukkan ke neraka. Sebaliknya, bagi para istri, bersyukurlah jika suamimu tidak seperti Firaun. Bahkan, istri Firaun, meskipun berada dalam lingkungan yang buruk, tetap menjadi penghuni surga karena kesabarannya. Allah ﷻ berfirman,
"Dan setiap mereka akan datang kepada-Nya pada Hari Kiamat dengan sendiri-sendiri."
(QS Maryam: 95)
Setiap orang akan dihisab atas amalnya sendiri. Jangan berpikir bahwa jika pasanganmu baik, engkau otomatis akan masuk surga. Salah satu contoh adalah seorang wanita yang bertanya, "Ustadz, suami saya tidak taat, bahkan salatnya sering terlambat. Apakah saya tetap harus taat dan melayani dia?" Jawabannya adalah ...
Tetaplah berbuat baik kepada suami,
bukan karena dia,
tetapi karena Allah ﷻ
Kebaikan yang dilakukan kepada pasangan harus didasari keikhlasan kepada Allah, bukan karena berharap balasan dari pasangan. Jika seorang manusia saja sering tidak bersyukur kepada Allah yang telah memberinya segalanya, maka apa yang bisa diharapkan dari sesama manusia?
Wanita penghuni surga memiliki sifat yang luar biasa. Nabi ﷺ bersabda,
"Maukah aku beri tahu kalian tentang istri-istri kalian yang menjadi calon bidadari surga? Mereka adalah wanita yang penuh kasih sayang, subur dalam melahirkan, dan sabar dalam menghadapi suaminya."
(HR Ahmad)
Wanita seperti ini mencintai keluarganya dan tidak ragu untuk memiliki banyak anak jika Allah menghendaki. Namun, sifat kasih sayang saja tidak cukup. Pendidikan dan perhatian terhadap anak-anak juga sangat penting. Ada wanita yang sibuk dengan urusannya sendiri, sehingga melalaikan anak-anaknya. Ini bukan contoh istri penghuni surga.
Selain itu, ada sifat mulia lainnya yang membuat seorang wanita menjadi calon penghuni surga. Jika ia disakiti atau menyakiti suaminya, ia akan segera meminta maaf dan tidak mau tidur sebelum mendapatkan keridaannya.
Dalam konflik rumah tangga, baik suami maupun istri perlu mengedepankan keikhlasan. Suami yang bijaksana adalah suami yang tidak segan meminta maaf, meskipun ia merasa tidak bersalah. Ini adalah sikap seorang lelaki gentleman yang mengutamakan kebahagiaan rumah tangganya daripada egonya.
Beristigfar Setelah Berbuat Dosa
Setiap manusia pasti berbuat dosa. Bahkan Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat yang telah dijamin masuk surga, pernah meminta doa khusus oleh Rasulullah ﷺ. Beliau bertanya, "Ya Rasulullah, ajarkanlah aku doa yang dapat kubaca dalam salat." Maka Rasulullah ﷺ mengajarkan doa berikut,
اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِّنْ عِندِكَ، وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
"Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan kezaliman yang banyak. Tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(HR Bukhari dan Muslim)
Jika Abu Bakar yang mulia saja dianjurkan untuk memohon ampun kepada Allah ﷻ, bagaimana dengan kita? Manusia biasa dengan dosa yang tak terhitung jumlahnya tentu lebih membutuhkan istigfar. Rasulullah ﷺ sendiri mencontohkan membaca istigfar setiap hari, meskipun beliau adalah manusia yang telah diampuni dosa-dosanya. Beliau mengajarkan untuk rutin membaca doa berikut sebanyak 100 kali setelah salat duha,
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
"Ya Rabb, ampunilah aku dan terimalah tobatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang."
Dosa yang menumpuk dapat menjadi penghalang kebahagiaan. Ibarat penyumbatan di pembuluh darah yang memerlukan ring untuk melancarkannya, dosa-dosa menjadi noktah hitam yang mengeraskan hati. Penyumbatan ini hanya bisa diatasi dengan memperbanyak istigfar. Karena itu, setiap hari kita dianjurkan untuk meluangkan waktu sejenak, misalnya 100 kali istigfar.
Jangan sampai menjadi orang yang merasa tidak perlu beristigfar karena menganggap dirinya tidak bersalah. Padahal, bagaimana mungkin kita meminta ampun jika kita sendiri tidak sadar akan dosa-dosa kita? Oleh karena itu, seorang muslim harus belajar mengenali apa yang termasuk dosa dan apa yang bukan. Dengan begitu, istigfar menjadi lebih bermakna dan bukan sekadar rutinitas tanpa kesadaran.
Jadikan istigfar sebagai kebiasaan,
bukan hanya setelah melakukan dosa besar,
tetapi sebagai bentuk pengakuan
bahwa kita selalu membutuhkan ampunan Allah ﷻ.
Jadi, kunci kebahagiaan adalah menggabungkan syukur atas nikmat, sabar dalam musibah, dan istigfar atas dosa. Hidup ini fana dan penuh ujian. Dengan selalu bergantung kepada Allah ﷻ, kita akan meraih kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat. Barakallahu fikum.
(Sumber tulisan diambil dari kajian: Rumah Tangga Bahagia - Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. Live di Rumah Dinas Menteri Kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan. Memenuhi undangan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Sabtu, 01 Dzulhijjah 1445 H / 08 Juni 2024 M)