
Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas empat hikmah dari wafatnya Abu Thalib, yaitu; (1) keagungan kalimat laa ilaaha illallaah, (2) kalimat tauhid telah dipahami oleh kaum Musyrikin, (3) selalu ada hikmah yang indah di balik kehendak-Nya, dan (4) pentingnya memiliki teman yang baik.
Kita akan melanjutkannya sambungannya. Berikut di antara hikmah lain dari meninggalnya paman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, Abu Thalib,
5. Allah Melaknat Teman yang Buruk
Allah ﷻ sangat membenci seorang teman (sahabat) yang buruk agamanya. Allah akan melaknat orang tersebut dengan laknat yang besar. Mengapa bisa demikian? Karena …
“… teman yang buruk merupakan salah satu sebab terhalangnya hidayah bagi seseorang yang ditemani olehnya.”
Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana akhir hidup Abu Thalib, di mana ia enggan masuk Islam karena terhasut oleh bujukan teman-temannya untuk senantiasa berpegang teguh dengan ajaran nenek moyang. Selain teman yang buruk, tradisi yang tidak sesuai dengan syariat juga termasuk salah satu penyebab terhalangnya seseorang dari hidayah.
Di penghujung kehidupannya, di akhir hentakan napas yang dihembuskan olehnya, Abu Thalib berkata lirih pada Muhammad ﷺ,
لَوْلَا أَنْ تُعَيِّرَنِي قُرَيْشٌ. يَقُولُونَ: إِنَّمَا حَمَلَهُ، عَلَى ذَلِكَ، الْجَزَعُ. لَأَقْرَرْتُ بِهَا عَيْنَكَ
“Kalau bukan karena (aku khawatir) Quraisy akan mencelaku dan berkata: 'Kesedihanlah yang mendorongnya (masuk Islam),' niscaya aku akan membuatmu bahagia dengan (mengucapkan) itu.”
(HR Muslim no. 42)
Ucapan Abu Thalib ini mengandung keinginan untuk dipuji, sehingga hal inilah yang menyebabkan dia tidak mendapatkan pujian, karena dia takut terhadap celaan manusia. Seandainya dia ikhlas dalam membela Nabi ﷺ, niscaya dia akan tetap mengucapkan lā ilāha illallāh meskipun akan banyak orang yang mencelanya. Wallāhu a’lam.
6. Amalan Seseorang Tergantung di Akhir Hidupnya
Meskipun selama hidupnya Abu Thalib dalam keadaan kafir, namun jika di akhir hidupnya dia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ, niscaya dia termasuk dari penghuni surga. Mengapa bisa demikian?
“Karena amalan seseorang dinilai oleh Allah di akhir kehidupannya.”
Namun, pada kenyataannya dia tidak mau beriman. Dia lebih memilih untuk meninggal di atas agama nenek moyangnya, sehingga hal ini membuat dia termasuk dari orang-orang yang merugi di akhirat kelak.
Kejadian ini mengingatkan kita pada pentingnya akhir dari setiap perbuatan, karena penilaian baik dan buruk ada padanya. Barang siapa yang memahami benar konsep ḥusnul khātimah ini, niscaya dia tidak akan bermudah-mudahan untuk melakukan perbuatan dosa, karena ia pasti khawatir jika akhir usianya ditutup dengan kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Ketahuilah, kita akan mati sebagaimana kebiasaan kita selama hidup di dunia ini. Allah ﷻ berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah kalian mati melainkan dalam keadaan Muslim."
(QS Ali ‘Imran: 102)
7. Bahayanya Taklid Buta pada Tradisi Nenek Moyang
Maksudnya adalah taklid buta kepada ajaran nenek moyang tanpa memperhatikan batasan-batasan syariat, seperti tetap mempertahankan tradisi nenek moyang yang menyelisihi agama, mengandung kesyirikan, dan ritual-ritual aneh yang diiringi dengan perbuatan haram. Maka, taklid yang seperti ini tidak diperbolehkan. Mengapa dilarang? Karena ia merupakan sebab penghalang hidayah.
Lihatlah keadaan Abu Thalib yang meninggal di atas kekafiran. Sebabnya adalah karena dia bersikukuh memegang ajaran dan tradisi nenek moyangnya. Allah ﷻ berfirman,
بَلۡ قَالُوٓاْ إِنَّا وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٖ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم مُّهۡتَدُونَ
“Bahkan mereka (kaum musyrikin) berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.’”
(QS Az-Zukhruf: 22)
Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan,
“Tidak ada sesuatu yang paling berbahaya bagi seseorang melainkan terkuasainya diri oleh tradisi nenek moyang…”
“…kaum musyrikin itu tidaklah menentang para rasul melainkan karena disebabkan tradisi dan budaya yang telah mendarah daging pada tubuh mereka, yang mereka warisi dari generasi-generasi sebelumnya. Oleh karenanya, barang siapa yang tidak tegas dalam jiwanya untuk keluar (meninggalkan) tradisi dan budaya (yang menyimpang) serta tidak siap untuk menerima sesuatu yang harusnya ia lakukan, maka ia akan terhalang dari kesuksesan dan rahmat Allah ﷻ.” (Tahdzīb Madārijus Sālikīn, hlm. 104)
8. Hidayah Taufik Hanya di Tangan Allah, Bukan di Tangan Manusia
Seorang muslim hanya diwajibkan untuk menyampaikan kebenaran, mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan, ketaatan, dan amal saleh. Adapun selebihnya, itu urusan Allah. Terbukanya hati seseorang untuk menerima hidayah, hanya Allah yang mampu melakukannya. Setiap muslim mampu mengajak orang lain pada kebenaran. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ berikut,
وَإِنَّكَ لَتَهۡدِيٓ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ
"Sesungguhnya engkau benar-benar bisa menunjukkan (kepada orang lain) jalan yang lurus."
(QS Asy-Syura: 52)
Inilah yang dinamakan hidāyah ad-dilālah (mengarahkan orang lain pada kebaikan) dan hidāyah al-irsyād (membimbing orang lain agar mau melakukan kebaikan).
“Hidayah taufik agar seseorang menerima kebenaran dan mau melakukannya, itu hak Allah. Hanya Allah-lah yang mampu memberikannya.”
Dalilnya adalah firman Allah ﷻ,
إِنَّكَ لَا تَهۡدِي مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
"Sesungguhnya engkau tidak akan bisa memberikan hidayah (taufik), akan tetapi Allah-lah yang akan memberikan hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dia lebih tahu siapa yang berhak untuk mendapatkan hidayah."
(QS Al-Qaṣaṣ: 56)
Ayat ini merupakan hiburan bagi setiap orang yang menyeru kepada kebenaran. Ketika dia merasa dakwahnya terlihat sia-sia, kemudian ia tersadar bahwa hidayah ada di tangan Allah, bukan di tangannya.
9. Betapa Dahsyatnya Azab Neraka
Abu Thalib adalah penghuni neraka yang mendapatkan siksaan paling ringan. Hal ini dikarenakan jasanya yang cukup besar dalam membela Islam dan berkat doa Nabi ﷺ. Beliau ﷺ bersabda,
هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ، وَلَوْلَا أَنَا؛ لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ
"Dia (Abu Thalib) berada di neraka yang paling dangkal. Seandainya bukan karenaku, niscaya dia sudah berada di bagian neraka yang paling bawah."
(HR Bukhari no. 3872 dan Muslim no. 357)
Allah ﷻ meringankan siksaan baginya. Namun, jangan salah, seringan-ringannya azab neraka tetap terasa pedih dan menyiksa. Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ menggambarkan bagaimana siksaan yang dialami oleh pamannya. Beliau bersabda,
أَهْوَنُ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا أَبُو طَالِبٍ. وَهُوَ مُنْتَعِلٌ بِنَعْلَيْنِ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ
“Penghuni neraka yang siksaannya paling ringan adalah Abu Thalib. Dia memakai dua sandal yang terbuat dari api neraka, kemudian otaknya mendidih karenanya.”
(HR Muslim no. 362)
10. Abu Thalib Meninggal dalam Keadaan Kafir
Paman Nabi ﷺ, yaitu Abu Thalib, meninggal dalam keadaan tidak mentauhidkan Allah, alias kafir. Hal ini sebagaimana yang Allah kabarkan dalam Al-Qur’an,
إِنَّكَ لَا تَهۡدِي مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
"Sesungguhnya engkau tidak akan bisa memberikan hidayah (taufik), akan tetapi Allah-lah yang akan memberikan hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dia lebih tahu siapa yang berhak untuk mendapatkan hidayah."
(QS Al-Qaṣaṣ: 56)
Al-Imām an-Nawawī rahimahullah mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa kematian Abu Thalib.” (Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, 1/125)
Dalil lain yang menunjukkan hal itu ialah firman Allah ﷻ,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن يَسۡتَغۡفِرُواْ لِلۡمُشۡرِكِينَ وَلَوۡ كَانُوٓاْ أُوْلِي قُرۡبَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُمۡ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَحِيمِ
"Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan kepada orang-orang yang mempersekutukan Allah, meskipun mereka adalah kerabat dekatnya, setelah semuanya jelas bahwa mereka itu termasuk penghuni neraka Jahim."
(QS at-Taubah: 113)
Maka keliru jika ada orang yang mengatakan bahwa Abu Thalib meninggal dalam keadaan beriman kepada Allah. Wallahu a’lam bish-shawab.
Tulisan ini disadur dari video kajian, “Fikih Sirah Nabawiyah: Hikmah yang Bisa Dipetik dari Wafatnya Abu Thalib – Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A.”
Youtube Terbaru





Artikel Terbaru



