Belakangan ini, beberapa kejadian menggemparkan terjadi di Indonesia yang mencerminkan krisis moral di kalangan anak muda. Salah satu kasus di suatu daerah melibatkan seorang anak berusia 14 tahun yang tega membunuh ayah dan neneknya, bahkan ibunya hampir menjadi korban. Mengapa seorang anak yang seharusnya menghormati orang tua justru melakukan tindakan sekejam itu?
Selain itu, terdapat kasus empat anak, terdiri dari tiga siswa SD dan satu siswa SMP atau SMA, yang memperkosa seorang wanita hingga menyebabkan kematiannya. Pada tahun 2013, kejadian serupa juga terjadi, di mana seorang siswa SMP menjadi mucikari bagi teman-teman perempuannya. Perilaku menyimpang ini sejatinya tidak dapat dilepaskan dari peran orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Allah ﷻ berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu."
(QS At-Tahrim: 6)
Maka kewajiban orang tua tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan fisik, seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal, tetapi juga meliputi pembinaan akhlak dan keimanan anak-anak. Namun, banyak orang tua yang hanya fokus pada kebutuhan materi sehingga lupa memperhatikan pendidikan agama dan moral anak-anak mereka. Sejatinya pemimpin keluarga yang baik bukanlah seperti ini. Rasulullah ﷺ bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya."
(HR Bukhari, no. 893; Muslim, no. 1829)
Dari hadis di atas ini menjelaskan bahwa tanggung jawab kepemimpinan tidak hanya berada di tangan presiden, gubernur, atau bupati, tetapi juga mencakup setiap kepala keluarga. Bahkan seorang ayah yang hanya memiliki satu istri dan seorang anak tetap akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.
Namun, sering kali orang tua berpikir bahwa tanggung jawab mereka selesai ketika kebutuhan sandang, pangan, dan papan terpenuhi. Akibatnya, anak-anak sering dititipkan, misal, kepada nenek yang sudah lanjut usia dan tidak lagi memiliki energi untuk mengasuh dengan optimal. Kondisi ini menimbulkan masalah, anak-anak jadi tidak terkontrol.
Kita dapat melihat pemandangan anak-anak muda yang berkeliaran hingga larut malam tanpa pengawasan adalah bukti lemahnya peran orang tua. Mirisnya lagi ada anak perempuannya. Ketika anak-anak dibiarkan tanpa bimbingan, mereka menjadi rentan terhadap pengaruh buruk. Jika tidak segera diatasi, kondisi ini dapat membawa dampak buruk pada masa depan bangsa.
Sebagai orang tua, misalnya, ketika anak hendak menyeberang jalan yang ramai, kita akan memegang tangan mereka, mengarahkan mereka untuk berhati-hati, dan memastikan keselamatannya. Namun, sering kali perhatian ini tidak dilakukan dalam menyelamatkan mereka dari ancaman akhirat.
"Kita mungkin terjaga semalaman jika anak sakit
dan bergegas membawanya ke rumah sakit,
tetapi apakah kita juga peduli untuk menyelamatkan mereka
dari dosa dan api neraka?"
Rasulullah ﷺ bersabda,
"Kelak orang yang paling menikmati hidup di dunia, yang kaya raya dan hidupnya penuh kesenangan, akan dicelupkan ke dalam neraka satu kali celupan. Lalu ia ditanya, 'Apakah engkau pernah merasakan kebahagiaan?' Ia akan menjawab, 'Tidak, demi Allah. Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan sedikit pun.'"
(HR Muslim, no. 2807)
Ingat wahai para orang tua, sematkan dalam ingatan hadis di atas ini, bahwa kenikmatan duniawi tidak ada artinya jika dibandingkan dengan siksaan neraka. Karena itu, menyelamatkan anak-anak kita dari api neraka adalah tugas utama orang tua.
Salah satu teladan bagi orang tua yang ideal adalah Luqman. Dalam Al-Qur'an, Allah ﷻ mengabadikan nasihat Luqman kepada anaknya:
يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
"Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar."
(QS Luqman: 13)
Luqman mengajarkan anaknya untuk menjauhi syirik, karena kesyirikan adalah bentuk kezaliman terbesar yang tidak akan diampuni jika pelakunya mati dalam keadaan demikian. Sebagai orang tua, kita harus menanamkan nilai-nilai tauhid kepada anak-anak kita agar mereka terhindar dari dosa terbesar ini.
“Orang tua yang ideal harus memulai
dengan memperbaiki dirinya sendiri,
sebelum mendidik anak-anaknya.”
Orang tua harus menjadi teladan dalam ibadah dan akhlak. Jika orang tua mengabaikan kewajibannya kepada Allah ﷻ, bagaimana mungkin mereka dapat membimbing anak-anaknya menuju jalan yang benar?
Dalam Al-Qur'an, Allah ﷻ menceritakan kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir. Suatu ketika, Nabi Khidir merenovasi sebuah bangunan yang hampir roboh. Nabi Musa bertanya tentang alasan Nabi Khidir melakukan hal tersebut. Di Surah Al-Kahfi, Allah ﷻ menjelaskan,
وَأَمَّا ٱلْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَـٰمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِى ٱلْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُۥ كَنزٌۭ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَـٰلِحًۭا
"Adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, dan di bawahnya terdapat harta benda simpanan milik mereka, sedangkan ayah mereka adalah seorang yang saleh."
(QS Al-Kahfi: 82)
Apa yang membuat Allah ﷻ memerintahkan Nabi Khidir untuk memperbaiki bangunan tersebut? Ternyata, bukan karena dua anak itu yatim, melainkan karena ayah mereka adalah orang saleh. Allah ﷻ berkehendak agar anak-anak itu dilindungi hingga dewasa dan dapat mengambil harta simpanan mereka sebagai rahmat dari-Nya.
Pelajaran dari kisah ini adalah bahwa orang tua yang saleh akan membawa kebaikan dan keberkahan bagi anak-anaknya. Maka, orang tua yang ideal adalah mereka yang senantiasa memperbaiki diri terlebih dahulu sebelum mendidik anak-anak mereka. Said bin Al-Musayyib pernah berkata kepada anaknya: "Aku akan menambah ibadahku agar engkau dijaga oleh Allah."
Pemilihan pasangan hidup juga menjadi fondasi utama dalam menjadi orang tua yang ideal. Pasangan yang tidak baik, apalagi didapat melalui cara-cara yang tidak halal, akan melahirkan berbagai masalah dalam keluarga. Sebagai contoh, ketika pernikahan terjadi karena kehamilan di luar nikah, kemudian dilakukan pernikahan hanya untuk menutupi dosa. Padahal, dosa zina tidak dihapuskan hanya dengan pernikahan, melainkan dengan tobat yang sungguh-sungguh.
Rasulullah ﷺ pernah didatangi seorang wanita yang berkata,
"Wahai Rasulullah, aku hamil karena zina. Maka sucikanlah aku."
Nabi ﷺ tidak bertanya siapa laki-laki yang berzina dengannya, melainkan mengarahkan wanita tersebut untuk bertobat.
“Karena solusi atas dosa zina adalah tobat, bukan sekadar pernikahan.”
Hari ini, banyak orang tua yang abai terhadap amanah mendidik anak. Misalnya, ketika seorang anak perempuan meminta izin pergi dengan pacarnya, orang tua justru berkata, "Jangan pulang larut, ya." Bahkan, ada yang dengan santai menerima kedatangan pacar anak mereka di rumah.
Orang tua seperti ini telah gagal menyelamatkan anak-anak mereka dari dosa dan kehancuran moral. Maka, orang tua yang ideal adalah mereka yang sejak awal memilih pasangan hidup dengan benar, mendidik anak dengan nilai-nilai Islam, serta memberikan teladan ketaatan kepada Allah ﷻ.
Ahibati fillah, kita tentu memahami bahwa dalam memilih pasangan hidup, ada kriteria yang sering menjadi acuan. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang beragama, niscaya kamu beruntung."
(HR Bukhari dan Muslim)
Sayangnya, masih banyak yang mengutamakan harta, kedudukan, atau kecantikan tanpa mempertimbangkan agama. Sebagai contoh, ada orang tua yang memilihkan pasangan bagi anaknya hanya karena calon tersebut kaya raya atau berasal dari keluarga terpandang. Padahal, harta dan kedudukan semata tidak menjamin kebahagiaan dan keberkahan rumah tangga.
Kecantikan pun sering menjadi alasan utama dalam memilih pasangan. Namun, kecantikan itu relatif dan bersifat sementara. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa keberuntungan sejati adalah ketika seseorang memilih pasangan yang agamis, karena agama adalah fondasi yang kokoh untuk membangun keluarga harmonis dan mendidik anak-anak dengan baik.
Menjadi orang tua yang ideal dimulai dari memastikan pasangan anak-anak mereka memiliki kriteria yang tepat, terutama dari segi agama. Contoh terbaik adalah Nabi Ibrahim alayhis-salam, yang memilihkan ibu yang baik untuk anaknya, Nabi Ismail alayhis-salam. Kisah ini menjadi pelajaran bagi kita semua.
Ketika Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail di Makkah, beliau menyerahkan segalanya kepada Allah ﷻ. Hajar pun bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini?” Nabi Ibrahim menjawab, “Iya.” Hajar yang memiliki keimanan kuat langsung berkata, “Kalau begitu, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.” Keyakinan inilah yang menjadi teladan bahwa seorang ibu yang agamis mampu mendidik anak-anaknya dengan baik, bahkan dalam kondisi yang sulit.
Sejarah mencatat banyak tokoh besar yang dibesarkan tanpa ayah. Imam Syafi'i dan Imam Bukhari, misalnya, kehilangan ayah mereka sejak kecil. Namun, ibu mereka yang salehah mampu membimbing dan mendidik mereka hingga menjadi ulama besar. Ini menunjukkan bahwa peran ibu dalam pembentukan karakter anak itu penting, dan orang tua yang ideal adalah mereka yang tidak salah memilih pasangan hidup.
Kisah lain adalah ketika Nabi Ibrahim mengunjungi rumah Nabi Ismail. Saat itu, Nabi Ismail sedang berburu, dan Nabi Ibrahim bertemu dengan istri Nabi Ismail. Ketika ditanya tentang kehidupan mereka, istri Nabi Ismail mengeluh bahwa hidup mereka sulit dan kesusahan. Nabi Ibrahim undur diri dan menitipkan pesan kepada istri Nabi Ismail agar mengganti ‘pintu rumahnya’. Pesan ini adalah isyarat untuk menceraikan istrinya, karena ia tidak bersyukur atas nikmat Allah ﷻ. Akhirnya, Nabi Ismail menikah lagi dengan wanita yang salehah, yang kemudian membawa keberkahan dalam hidupnya.
Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini adalah bahwa …
"Memiliki pasangan yang tidak bersyukur hanya akan membawa masalah dalam rumah tangga.
Sebaliknya, pasangan yang salehah dan bersyukur akan membantu membangun keluarga yang berkah."
Orang tua yang ideal tidak hanya bertanggung jawab mendidik anak-anaknya, tetapi juga memastikan langkah awal dalam kehidupan anak terbangun dengan kokoh. Salah satu langkah penting adalah memilih pasangan hidup yang tepat. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةً فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
"Jika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian rida agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang luas."
(HR Tirmidzi)
Kriteria utama dalam memilih pasangan adalah agama dan akhlak. Namun, hati-hati terkadang orang tertipu karena penampilan atau pencitraan. Misalnya, seseorang terlihat sering hadir di masjid, tetapi belum tentu akhlaknya baik di luar masjid. Apalagi di era media sosial, seseorang bisa tampak religius melalui unggahan foto kajian, saf pertama di masjid, atau bahkan foto bersama ustadz, tetapi kenyataan hidupnya belum tentu mencerminkan akhlak yang sebenarnya. Oleh karena itu, jangan melihat agama secara lahiriah, tetapi juga memastikan akhlaknya melalui interaksi langsung dengan lingkungan sehari-hari, seperti tempat kerja atau teman dekatnya.
Orang tua yang ideal adalah mereka yang aktif membimbing anak-anaknya hingga menikah. Karena anak-anak, meskipun telah dewasa, tetap memerlukan arahan dan nasihat dari orang tuanya. Rasulullah ﷺ menekankan bahwa memilih pasangan hidup yang baik penting untuk mencegah kerusakan yang lebih besar di masyarakat.
Sering kali, calon pasangan yang baik agamanya tetapi kurang berada secara finansial diabaikan. Padahal Rasulullah ﷺ memberikan pesan yang jelas tentang hal ini,
إِنْ كَانَ فَقِيرًا يُغْنِهِ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
"Jika ia miskin, Allah akan mencukupkan (kebutuhannya) dari karunia-Nya."
(QS An-Nur: 32)
Orang tua yang ideal memulai peran mereka jauh sebelum anak-anak mereka menikah, yakni dengan menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan dalam beribadah, berakhlak baik, dan memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua akan membentuk karakter anak-anak mereka.
Selain itu, orang tua juga harus waspada terhadap pengaruh lingkungan, baik dari media sosial maupun pergaulan, yang sering kali memengaruhi cara anak-anak mereka memilih pasangan. Dengan memberikan arahan yang benar, orang tua dapat mencegah fitnah dan kerusakan yang lebih besar di masyarakat.
Semoga keluarga kita menjadi teladan dalam kebaikan, dan anak-anak kita menjadi generasi yang saleh dan berakhlak mulia. Barakallahu fiikum.
Dapatkan penjelasan lengkapnya pada kajian, "Menjadi Orang Tua yang Ideal" (live di Batu, Ahad, 28 Jumadil Awwal 1446 H / 01 Desember 2024)