

Tempat kerja yang baik bukan
hanya soal gaji tetap atau legalitas usaha, tetapi juga lingkungan yang
mendukung nilai moral dan keimanan. Dalam Islam, pekerjaan halal bukan sekadar
soal sumber penghasilan, tetapi juga suasana yang membantu kita tetap taat kepada Allah ﷻ. Karena itu, penting bagi setiap muslim untuk menjaga batasan
dalam berinteraksi, terutama antara laki-laki dan perempuan, agar tidak
terjebak dalam fitnah yang tak terlihat.
Islam telah memberi panduan
jelas: tundukkan pandangan, menutup aurat, dan hindari segala yang mendekatkan
pada zina. Hal ini merupakan bentuk kasih sayang Allah untuk menjaga kehormatan
kita. Sayangnya, tak semua tempat kerja mendukung hal tersebut. Ada lingkungan
yang justru mengutamakan penampilan fisik dibanding akhlak dan integritas,
bahkan menjadikan “good looking” sebagai syarat utama untuk bisa diterima.
Jika kita dihadapkan pada
pilihan sulit, antara bertahan dengan pekerjaan yang melanggar syariat atau
meninggalkannya demi menjaga iman, maka pilihlah Allah. Rezeki bukan datang
dari manusia, melainkan dari Allah yang menjamin nafkah setiap makhluk-Nya.
Kita sering mengaku beriman, tetapi iman yang sejati terlihat dari keberanian
untuk taat, meski berat.
Tempat kerja yang tidak peduli
pada batasan syariat sangat rentan memicu fitnah. Tak sedikit rumah tangga yang
retak karena benih perselingkuhan tumbuh di tempat seperti ini. Maka, jagalah
hati dan pandangan, karena iman adalah pelindung terbaik di manapun kita berada,
termasuk saat bekerja. Allah telah memberi pedoman yang sangat jelas dalam
Al-Qur’an,
ﵟقُل لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ
فُرُوجَهُمۡۚ ذَٰلِكَ أَزۡكَىٰ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا يَصۡنَعُونَ
30 وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ
وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ
إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّﵞ
“Katakanlah kepada orang
laki-laki yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman
hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannnya kecuali yang (biasa) nampak daripadanya dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami
mereka atau putera-putera mereka atau putera-putera suami mereka” (QS An-Nuur: 30-31)
Seringkali, kita lebih patuh
pada aturan kantor daripada pada aturan Allah ﷻ. Padahal, tubuh yang kita pakai untuk bekerja adalah amanah
dari-Nya, bukan milik perusahaan. Maka, sudah semestinya ketaatan kepada Allah lebih
kita utamakan, bukan kepada atasan.
Menutup aurat dan menjaga
pandangan bukan aturan kaku, tetapi bentuk perlindungan diri, baik untuk
laki-laki maupun perempuan. Jika tempat kerja menuntut penampilan yang
bertentangan dengan syariat, saatnya kita bertanya: apa prioritas hidup kita
sebenarnya?
Lingkungan kerja yang sehat
seharusnya menjauhkan kita dari potensi fitnah. Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa saat seorang pria dan
wanita berduaan tanpa mahram, setan adalah pihak ketiganya. Maka, hindarilah
khalwat. Jika harus bekerja dalam tim campuran, tetap jaga adab: atur posisi
duduk, batasi kontak mata, hindari candaan pribadi. Hal-hal kecil ini berdampak
besar bagi kebersihan hati.
Seperti perusahaan yang
melarang main ponsel demi produktivitas, menjaga pandangan dan interaksi juga
bagian dari profesionalisme. Hati yang tak dijaga bisa merusak niat dan
merembet ke kualitas kerja.
Islam juga melarang sentuhan
fisik antara lawan jenis yang bukan mahram, termasuk berjabat tangan. Bahkan
Rasulullah ﷺ tak pernah menyentuh tangan
wanita yang bukan mahram, sekalipun dalam momen bai’at. Ini menjadi teladan
bahwa menjaga batas bukan hanya syariat, tapi juga bukti kemuliaan diri.
وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسَلَّم يَدَ
امْرَأَةٍ قَطُّ، غَيْرَ أَنَّهُ بَايَعَهُنَّ بِالكَلَامِ
“Demi Allah, tangan beliau
tidak pernah menyentuh tangan perempuan sama sekali. Beliau membaiat para
wanita dengan perkataan (saja).” (HR Bukhari, no. 5288, dan Muslim, no. 1866)
Dalam konteks profesional,
menolak berjabat tangan bukan berarti tidak sopan. Justru itu adalah wujud
takwa dan penghormatan terhadap aturan Allah ﷻ. Profesionalitas tidak diukur
dari sentuhan fisik, tetapi dari integritas, kerja nyata, dan sikap hormat yang
tulus.
Begitu pula dalam percakapan,
Islam mengajarkan agar interaksi antara laki-laki dan perempuan dibatasi pada
kebutuhan saja. Hindari basa-basi, candaan, atau sapaan pribadi yang tidak
perlu. Allah memperingatkan dalam Surah Al-Ahzab ayat 32 agar para wanita tidak
melembutkan suara mereka agar tidak membangkitkan hasrat orang yang lemah
imannya,
ﵟيَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِيِّ لَسۡتُنَّ كَأَحَدٖ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِنِ
ٱتَّقَيۡتُنَّۚ فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِٱلۡقَوۡلِ فَيَطۡمَعَ ٱلَّذِي فِي قَلۡبِهِۦ
مَرَضٞ وَقُلۡنَ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗاﵞ
"Wahai istri-istri Nabi,
kamu tidaklah seperti perempuan-perempuan yang lain jika kamu bertakwa. Maka,
janganlah kamu merendahkan suara (dengan lemah lembut yang dibuat-buat)
sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah
perkataan yang baik." (QS Al-Ahzab: 32)
Jika istri Nabi saja diingatkan
untuk menjaga cara bicara, maka tentu kita lebih perlu menjaga. Bicaralah
tegas, lugas, dan seperlunya. Hindari nada suara menggoda, sapaan manja, atau
tawa berlebihan, karena dari hal-hal kecil itulah godaan bisa masuk.
Imam An-Nawawi juga
mengingatkan bahwa jika seorang wanita non-mahram cantik dan bisa menimbulkan
godaan, maka seorang laki-laki tidak perlu mengucapkan salam, dan wanita
tersebut pun tidak wajib menjawabnya. Bahkan menjawab salam dalam kondisi ini
hukumnya makruh. Ini menunjukkan betapa Islam sangat menjaga kehormatan dari
hal-hal kecil.
Kita bekerja untuk mencari
nafkah yang halal. Maka, bekerjalah dengan takwa. Jaga pandangan, jaga lisan,
dan jaga interaksi. Jika waktu istirahat tiba, berkumpullah dengan sesama
jenis. Hindari duduk bersama lawan jenis tanpa kebutuhan syar’i. Dari situlah
kadang fitnah bermula, hati mulai goyah, dan akhirnya bisa merusak masa depan,
baik di dunia maupun akhirat.
Tulisan ini disadur dari kajian berjudul “Menjaga Hati & Pandangan Dalam Profesionalisme Kerja” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).
Youtube Terbaru





Artikel Terbaru




