Pasanganku Sudah Tak Romantis Lagi
Pasanganku Sudah Tak Romantis Lagi

Dulu, setiap pagi disambut senyum, pelukan hangat, dan obrolan ringan yang membuat hati berbunga. Namun kini, segalanya terasa berbeda. Percakapan hanya seputar kebutuhan rumah, sentuhan jadi kaku, bahkan kehangatan serasa hilang. Banyak pasangan pernah melalui fase ini, saat romantisme tinggal kenangan. Lalu muncul pertanyaan: apakah cintanya pudar? Apakah rumah tangga kami mulai retak?

 

Masalahnya bukan sekadar “bulan madu yang usai”. Kita sering terjebak pada konsep bahwa romantisme hanya ada di awal pernikahan. Padahal, cinta sejati adalah madu yang harus terus diusahakan, bahkan di tengah rutinitas, lelah, dan bosan.

Seorang istri seharusnya berkata, “Aku gak mau bulan madu, aku mau madunya sampai mati.” Sederhana, tapi mendalam.

 

Lalu, bagaimana mengembalikan masa-masa indah itu? Apakah mungkin romantisme yang mulai pudar bisa kembali bersemi?

Dikisahkan bahwa ada seorang istri yang setelah setahun menikah, ia berkata pada suaminya, “Aku ingin bulan madu seperti dulu lagi.” Suatu ketika sang istri terjatuh di kamar mandi, dengan sigap suaminya menggendong dan memijitnya. Dari momen kecil itu, kehangatan dan romantisme perlahan kembali hadir dalam kehidupan mereka.

 

Kenapa suasana bisa berubah? Dulu, saat baru kenal, semuanya terasa segar dan penuh semangat. Rasa penasaran dan saling mengenal membuat hari-hari penuh warna. Namun seiring waktu, rutinitas dan beban hidup mulai menyusup, dan rasa bosan pun perlahan muncul. Tak sedikit pasangan yang mengaku bertahan dalam rumah tangga karena kasihan pada anak-anak. Perasaan bosan dan jenuh seperti ini wajar, tetapi jangan biarkan menjadi alasan untuk mengabaikan kebahagiaan bersama. Dalam Islam, pernikahan adalah perjalanan panjang yang membutuhkan usaha dan niat baik dari kedua belah pihak untuk terus memperbaiki dan menjaga cinta, bukan sekadar bertahan karena kewajiban.

 

Marilah kita teladani bagaimana Rasulullah menjaga keindahan masa-masa indah dalam rumah tangganya. Salah satu hikmah yang dapat kita petik adalah tentang kesederhanaan rumah tangga. Rumah yang terlalu besar justru bisa membuat suami dan istri berjauhan, karena masing-masing sibuk di ruangnya sendiri-sendiri sehingga kesempatan bertemu dan berinteraksi menjadi berkurang. Berbeda dengan Rasulullah dan Aisyah radhiyallahu anha yang tinggal dalam rumah sederhana dengan hanya satu kamar, sehingga kehangatan dan kedekatan mereka terjaga dengan baik.

 

Selain rumah yang sederhana dan penuh kehangatan, Rasulullah juga menunjukkan betapa indahnya kesederhanaan dalam kebersamaan sehari-hari. Saat makan bersama, mereka bahkan hanya menggunakan satu piring dan gelas. Rasulullah adalah suami yang sangat perhatian dan penuh kelembutan. Dalam sebuah hadits, Aisyah menceritakan bagaimana Rasulullah memanggilnya untuk makan bersama.

 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَدْعُونِي فَآكُلُ مَعَهُ وَأَنَا عَارِكٌ وَكَانَ يَأْخُذُ الْعَرْقَ فُيُقْسِمُ عَلَىَّ فِيهِ فَأَعْتَرِقُ مِنْهُ ثُمَّ أَضَعُهُ فَيَأْخُذُهُ فَيَعْتَرِقُ مِنْهُ وَيَضَعُ فَمَهُ حَيْثُ وَضَعْتُ فَمِي مِنَ الْعَرْقِ وَيَدْعُو بِالشَّرَابِ فَيُقْسِمُ عَلَىَّ فِيهِ قَبْلَ أَنْ يَشْرَبَ مِنْهُ فَآخُذُهُ فَأَشْرَبُ مِنْهُ ثُمَّ أَضَعُهُ فَيَأْخُذُهُ فَيَشْرَبُ مِنْهُ وَيَضَعُ فَمَهُ حَيْثُ وَضَعْتُ فَمِي مِنَ الْقَدَحِ ‏.‏

“Rasulullah sering mengajakku makan bersamanya saat aku sedang haid. Beliau mengambil sepotong tulang yang masih tersisa sedikit dagingnya dan mempersilakanku untuk mengambilnya terlebih dahulu. Aku pun menggigit sedikit, lalu meletakkannya. Setelah itu, beliau menggigit pada bagian yang sama di tulang itu dan meletakkan mulutnya di tempat mulutku berada. Kemudian beliau meminta minuman dan mempersilakanku minum terlebih dahulu sebelum beliau minum. Aku pun mengambil minuman itu, meminumnya, lalu meletakkannya. Setelah itu beliau mengambil minuman itu dan meminumnya dengan mulut di tempat mulutku sebelumnya.” (HR An-Nasa’i no. 279, dishahihkan oleh Syekh Al-Albani)

 

Momen kecil seperti beliau memilih bagian tulang yang sudah digigit Aisyah untuk dimakan lagi, serta saling memberi kesempatan duluan saat makan dan minum, adalah bentuk perhatian dan kasih sayang yang tulus. Kalau di rumah kita banyak gelas, kadang suami bisa bilang, "Wahai istriku, tolong ambilkan gelas yang lain." Tapi lihatlah bagaimana Rasulullah dan Aisyah menjalani kebersamaan mereka dalam kesederhanaan.

Maka, dalam rumah tangga kita bisa meneladani kebiasaan sederhana seperti makan bersama di lantai beralaskan tikar, dengan satu piring yang sama, kepala berdekatan—suami, istri, dan anak-anak saling berbagi dan makan dengan penuh kehangatan. Berbeda dengan makan di meja makan besar yang terpisah-pisah, yang membuat jarak fisik sekaligus emosional terasa makin jauh.

Begitu juga dengan mandi. Jika rumah memiliki banyak kamar mandi, biasanya suami istri mandi sendiri-sendiri dan jarang ada momen kebersamaan. Namun, jika hanya ada satu kamar mandi, mereka harus bergantian atau bahkan bisa mandi bersama, seperti Rasulullah dan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Aisyah pernah berkata,

 

وَكُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَهُوَ فِي الإِنَاءِ الْوَاحِدِ

"Aku dan beliau mandi dari satu bejana yang sama." (HR Muslim no. 319)

 

Padahal usia Rasulullah sudah tidak muda lagi, sekitar 50 atau 60 tahun, tetapi kehangatan keluarganya tetap terasa begitu hidup. Kebersamaan sederhana seperti mandi bersama pun menjadi momen penuh cinta dan keintiman. Coba bandingkan dengan kita, di usia yang sama, seringkali romantisme dalam rumah tangga terasa redup dan seolah menghilang. Ini mengajarkan kita bahwa cinta dan kehangatan dalam rumah tangga bukan soal umur, melainkan tentang bagaimana kita memilih untuk terus menjaga dan merawatnya setiap hari.

 

Bukan hanya itu. Rasulullah juga memberi waktu untuk mengobrol dan mendengarkan cerita istrinya. Di tengah kesibukan beliau sebagai pemimpin umat, beliau tetap menjadi pendengar terbaik bagi istrinya. Suatu malam, Aisyah menceritakan kisah yang sangat panjang tentang Umm Zar’, tentang sebelas wanita yang saling membuka rahasia rumah tangga mereka. Aisyah menceritakan dengan penuh semangat, dan Rasulullah mendengarkan dengan sabar hingga akhir. Lalu Rasulullah berkata kepada Aisyah, "Aku terhadapmu seperti Abu Zar’ terhadap Umm Zar’." (HR. Bukhari no. 5189)

 

Rasulullah mendengarkan dengan penuh saksama, tanpa memotong, tanpa mengeluh. Bandingkan dengan sebagian dari kita hari ini. Ada suami-suami yang ketika istri mulai bercerita, dengan cepat menyela, “Udah tahu,” atau, “Itu lagi? Udah pernah kamu ceritakan.” Padahal kadang, yang dibutuhkan seorang istri bukan jawaban, tapi kehadiran. Rasulullah memberi kita teladan bahwa cinta itu dibangun bukan hanya dengan tindakan besar, tapi dengan perhatian-perhatian kecil yang dilakukan dengan tulus.

 

Romantisme bukanlah sesuatu yang datang dan pergi tanpa kendali, tapi sesuatu yang bisa terus dirawat dengan niat dan perhatian. Ia tumbuh bukan dari mahalnya hadiah atau besarnya kejutan, melainkan dari hal-hal kecil yang dilakukan setiap hari: senyum tulus, pelukan hangat, waktu yang diluangkan, dan telinga yang mau mendengarkan. Rasulullah telah menunjukkan pada kita bahwa cinta sejati tak lekang oleh usia, tak pudar oleh rutinitas, dan tak lelah oleh waktu.

 

Jangan biarkan cinta meredup hanya karena kesibukan atau rumah yang terlalu luas. Jadikan setiap momen sederhana sebagai cara merawat cinta. Karena pada akhirnya, cinta sejati bukan tentang indahnya awal perjalanan, tetapi seberapa tulus kita memperjuangkannya hingga akhir hayat.

 

Semoga Allah menjaga setiap rumah tangga agar tetap hangat dan penuh cinta, serta menguatkan setiap langkah untuk terus merawatnya setiap hari.

   

Tulisan ini disadur dari serial kajian berjudul “Suamiku Tak Romantis Lagi: Tanya Jawab Seputar Pernikahan” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).