Abu Thalib dan Hidayah yang Tak Sampai (Bag. 1)
Abu Thalib dan Hidayah yang Tak Sampai (Bag. 1)

 

Kita sebagai pengikut Rasulullah bisa jadi akan menghadapi rintangan sebagaimana yang beliau alami. Misalnya, ada di antara keluarga kita yang belum beriman, belum mengenal hidayah sunnah, pasangan hidup yang masih jauh dari agama, atau bahkan ada yang sampai memusuhi ajaran Islam yang mulia ini. Terkadang kita merasa bingung, apa yang seharusnya dilakukan? Bagaimana jalan keluar untuk menghadapi problematika hidup seperti ini? Salah satu caranya adalah dengan membaca kisah perjalanan hidup Nabi Muhammad .

Mengapa harus membaca kisah beliau? Karena beliau pernah mengalami masalah serupa, dan Allah memberikan jalan keluarnya. Ada di antara keluarga beliau yang beriman, tetapi ada juga yang tidak. Beliau memiliki empat orang paman; dua di antaranya (Hamzah dan Abbas radhiyallahu’anhuma) wafat dalam keadaan beriman kepada Allah , sementara dua lainnya (Abu Thalib dan Abu Lahab) wafat dalam keadaan musyrik.

Kedua paman beliau yang musyrik memiliki karakter yang berbeda. Abu Lahab memusuhi dakwah Nabi , sementara Abu Thalib sangat menyayangi Nabi dan melindungi dakwah beliau dari gangguan kaum Quraisy.

Namun, dalam kesempatan ini kita akan lebih fokus membahas hikmah atau pelajaran yang dapat dipetik dari wafatnya Abu Thalib. Berikut di antaranya:

 

1. Keagungan Kalimat Laa ilaaha illallaah

Salah satu bentuk keagungan kalimat laa ilaaha illallaah adalah bahwa dengan kalimat ini, bangsa Arab maupun non-Arab akan tunduk, dan dengan kalimat inilah Rasulullah akan membela pamannya kelak di Hari Kiamat seandainya Abu Thalib mengucapkannya sebelum wafat.

Kalimat ini adalah persaksian tauhid, yaitu mengesakan Allah , yang berarti bahwa ibadah hanya ditujukan kepada-Nya. Barang siapa yang bertauhid dalam ibadah, maka ia akan terbebas dari pengabdian kepada makhluk dan tidak akan mengagungkan selain Allah.

 

“Hakikat tauhid adalah mengenal tauhid dengan benar, memahami intinya, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari melalui ilmu dan amal.”

  


Jika hal ini tercapai, maka jiwa akan tertarik kuat kepada Allah dalam bentuk cinta, takut, taubat, tawakal, doa, ikhlas, dan pengagungan yang sempurna kepada-Nya. Dalam hatinya tidak ada selain Allah, tidak ada keinginan terhadap apa yang diharamkan-Nya, dan tidak ada kebencian terhadap perintah-Nya. Inilah makna sejati dari kalimat laa ilaaha illallaah.

Inti dari dakwah para nabi adalah menyeru kepada tauhid dan pemurnian ibadah. Mengapa harus tauhid? Karena …

 

“Tauhid adalah sumber keberhasilan dalam segala hal. Ketika sebuah negeri ingin menjadi makmur, maka penduduknya harus mentauhidkan Allah dengan sebenar-benarnya. Jika tauhid diperbaiki, maka negeri akan sukses, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.”

 


Karena itulah Nabi sangat menginginkan agar pamannya mengucapkan kalimat laa ilaaha illallaah, agar ia bisa merasakan kenikmatan abadi di surga. Namun, ternyata ia menolak untuk mengucapkannya.

Jika seseorang mengucapkan kalimat tauhid dengan ikhlas dari lubuk hatinya yang terdalam, maka akan hadir dalam jiwanya rasa takut, harap, cinta, dan kasih sayang kepada Allah . Sebaliknya, jika ucapan itu hanya sebatas formalitas, maka ia tidak akan memberikan pengaruh baik terhadap kepribadiannya. Bahkan, akhlaknya pun akan sulit untuk menjadi baik. Hal ini terjadi karena ada kerusakan dalam tauhidnya.

 


2. Kalimat Tauhid Telah Dipahami oleh Kaum Musyrikin Dahulu

Orang-orang kafir Quraisy menyatakan bahwa mereka siap menerima kalimat apapun dari Nabi . Namun ketika beliau menawarkan kalimat laa ilaaha illallaah, mereka menolaknya sambil berkata, “Apakah engkau ingin menjadikan tuhan-tuhan kami yang banyak ini menjadi satu Tuhan saja?!”

Ini menunjukkan bahwa kaum musyrikin saat itu sangat memahami makna kalimat tauhid. Mereka sadar bahwa jika hanya beribadah kepada satu Tuhan, maka mereka harus meninggalkan sesembahan-sembahan lain yang biasa mereka thawaf mengelilinginya.

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa kaum musyrikin saat itu justru lebih memahami makna laa ilaaha illallaah dibandingkan sebagian kaum muslimin zaman sekarang. Tidak sedikit dari kaum muslimin yang mengaku berpegang pada tauhid, tetapi justru menghancurkannya melalui amalan-amalan syirik dan perbuatan yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi .

Ketahuilah, mempersekutukan Allah adalah dosa yang tidak akan diampuni di akhirat, jika pelakunya tidak bertaubat. Hal ini sebagaimana firman Allah ,

 

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا 
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar."

(QS An-Nisa: 48)

 


3. Selalu Ada Hikmah Indah di Balik Kehendak-Nya

Mungkin sebagian dari kita bertanya-tanya, mengapa Abu Thalib yang begitu membela dan mendukung dakwah Nabi Muhammad justru meninggal dalam keadaan kafir?

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa Allah menguji hati Abu Thalib dengan rasa cintanya kepada Nabi secara naluriah, bukan karena keimanan. Di balik tetapnya Abu Thalib dalam agama nenek moyangnya, terdapat hikmah besar dari Allah . Salah satunya adalah agar Abu Thalib tetap dapat melindungi Rasulullah dari gangguan kaum Quraisy.

Seandainya Abu Thalib masuk Islam, bisa jadi wibawanya di mata Quraisy akan hilang, sehingga mereka tidak lagi menghormatinya dan bahkan berani menyakitinya sebagaimana mereka menyakiti Rasulullah . Maka, inilah salah satu bentuk hikmah dari Allah . Dia menciptakan dan memilih segala sesuatu dengan kebijaksanaan yang sempurna.

 


4. Pentingnya Memiliki Teman yang Baik

Rasulullah telah berusaha sekuat tenaga untuk membujuk Abu Thalib agar masuk Islam. Ini terbukti saat beliau menjenguk pamannya yang sedang sakit keras. Namun sayangnya, pada saat itu sudah ada teman-teman dekat Abu Thalib yang berada di sisinya, dan merekalah salah satu penyebab terhalangnya Abu Thalib dari hidayah.


Ketahuilah ... 

"Bersahabat dengan orang yang buruk agamanya hanya akan membawa kerugian, baik di dunia maupun di akhirat.



Di hari Kiamat kelak, orang-orang yang dulu menjadikan sahabat buruk sebagai teman dekat akan merasakan penyesalan yang sangat dalam. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah ,

 

وَيَوۡمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيۡهِ يَقُولُ يَٰلَيۡتَنِي ٱتَّخَذۡتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلٗا ، يَٰوَيۡلَتَىٰ لَيۡتَنِي لَمۡ أَتَّخِذۡ فُلَانًا خَلِيلٗا ، لَّقَدۡ أَضَلَّنِي عَنِ ٱلذِّكۡرِ بَعۡدَ إِذۡ جَآءَنِيۗ ..

“(Ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit kedua tangannya seraya berkata, ‘Aduhai kiranya (dahulu) aku mengambil jalan bersama dengan Rasulullah. Sungguh sangat celakalah diriku kini; seandainya dahulu di dunia aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku (niscaya diriku tidaklah akan celaka seperti ini)!  Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al Quran itu telah datang kepadaku....”

(QS Al-Furqan: 27-29)

 


Bersambung insya Allah

 




Tulisan ini disadur dari video kajian berjudul “Fikih Sirah Nabawiyah : Hikmah yang Bisa Dipetik dari Wafatnya Abu Thalib – Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A.”