

Anak dan harta seringkali dipandang sebagai kebanggaan
dan pencapaian duniawi. Namun, dalam pandangan Islam, keduanya adalah perhiasan dunia yang sifatnya
sementara, dan juga merupakan ujian dari Allah ﷻ.
اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ
الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا
“Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan amal kebajikan yang
abadi (pahalanya) adalah lebih baik balasannya di sisi Tuhanmu serta lebih baik
untuk menjadi harapan.” (QS Al-Kahfi: 46)
Ayat ini membuka wawasan berpikir seorang Muslim dalam memandang harta dan anak.
Keduanya memang tampak indah dan menjadi kebanggaan, tetapi ia tidaklah abadi. Berapa
banyak pasangan yang telah bertahun-tahun menikah, tetapi belum dikaruniai seorang
anak. Ada yang menunggu 2 tahun, 16 tahun, dan bahkan ada juga yang menunggu
hingga 21 tahun.
Ketika rasa putus asa mulai menyeruak, dan berkata, “Saya
pasrah.” Namun, di balik kata pasrah itu, sering tersembunyi perasaan kecewa
dan hampir menyerah.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah teladan dalam
hal ini. Beliau baru dikaruniai anak pada usia lanjut, pada umur 86 tahun. Nabi
Zakaria di umur 100 tahun, dalam usia yang juga sangat tua. Ini mengajarkan
bahwa tidak ada kata terlambat untuk menerima karunia Allah ﷻ. Selama kita masih
hidup, harapan itu akan tetap ada.
Bagi yang telah dikaruniai anak, hendaknya menyadari
bahwa mereka bukan hanya pelengkap kebahagiaan, melainkan amanah yang besar.
Anak bisa menjadi aset dunia, seperti yang dirasakan banyak orang tua, Anak bisa
membantu pekerjaan rumah, mengantar ke mana-mana, dan membahagiakan mereka
karena kesholehannya.
Namun, lebih dari itu, anak adalah investasi akhirat.
Anak yang sholeh akan mendoakan orang tuanya, menghadiahkan mahkota di surga
karena hafalan Al-Qur’annya, dan menjadi penolong di hari kiamat. Sebaliknya,
anak yang tidak dididik dengan baik dapat menjadi sebab kehancuran orang tuanya
di akhirat. Seorang anak harus mengetahui bahwa ia adalah aset orang tuanya, walaupun
ia sudah menikah. Kewajiban tidak gugur dari dirinya untuk terus berbakti
kepada orang tuanya, disamping ia memiliki kewajiban untuk menafkahi istrinya.
Orang tua boleh mengambil harta anaknya dengan cara yang
baik. Mengambil harta anak bukan untuk diberikan ke anak yang lain, melainkan
untuk memenuhi kebutuhan. Rasulullah ﷺ mengatakan
pada seorang anak yang ayahnya sering mengambil hartanya,
أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيكَ
“Kamu dan hartamu adalah milik bapakmu.” (HR Ahmad, no. 6902)
Hadis ini menegaskan bahwa anak tidak pernah bisa
membalas budi orang tuanya sepenuhnya. Apa yang anak berikan kepada orang
tuanya, sejatinya adalah hak orang tua. Maka jangan pernah beranggapan “sudah
membalas jasa” hanya karena memberi nafkah, kendaraan, atau membiayai ibadah
haji orang tua.
Sebagaimana dahulu dilakukan oleh seorang pria Yaman di
zaman sahabat Nabi ﷺ. Ia menggendong ibunya di atas kedua pundak, thawaf
mengelilingi ka’bah tujuh kali putaran. Kemudian ia datang ke sahabat Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhu dan mengatakan,
“Wahai Ibnu Umar, apakah
aku telah membalas jasa ibuku?”
Maka shahabat Ibnu Umar
mengatakan,
“Tidak, walaupun satu
hentakan nafas di saat melahirkan.” (HR Al-Bukhari di dalam al-Adabul Mufrad,
disahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Sedekah atas Nama Orang
Tua setelah Wafat
Diantara bentuk aset seorang anak untuk orang tuanya
adalah ketika keduanya telah wafat. Anak masih memiliki jalan untuk menunjukkan
bakti dan kasih sayangnya, salah satunya adalah melalui sedekah jariyah atas
nama mereka. Tindakan ini tidak hanya mendatangkan pahala bagi orang tua,
tetapi juga untuk anak yang melakukannya dengan niat yang ikhlas. Suatu
ketika ada seorang sahabat datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata,
إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ
نَفْسُهَا، وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ
تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَال: "نَعَمْ"
“Ibuku wafat secara tiba-tiba, dan aku mengira kalau ia sempat
berbicara, tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku
bersedekah atas namanya?”
Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Ya, dia akan mendapatkan pahala.” (HR Al-Bukhari, no. 1397)
Hadis ini menunjukkan bahwa sedekah yang dilakukan anak atas
nama orang tua yang telah meninggal akan sampai pahalanya. Ini merupakan bentuk
nyata dari bakti seorang anak meski mereka telah tiada. Contoh lain yang
menguatkan hal ini adalah kisah sahabat Sa'ad bin Ubadah. Ketika
ibunya meninggal dunia dan ia tidak sedang berada di Madinah, ia bertanya
kepada Rasulullah ﷺ,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمِّي
تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا أَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ
عَنْهَا؟ قَالَ: "نَعَمْ". قَالَ: فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِيَ
الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا.
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah wafat sementara
aku tidak berada di sisinya. Apakah bermanfaat baginya jika aku bersedekah atas
namanya?" Beliau menjawab: 'Ya.' Ia berkata: 'Kalau begitu, aku menjadikan
engkau sebagai saksi bahwa kebun al-Mikhraf adalah sedekah atas namanya.” (HR Bukhari, no. 2773)
Peran orang tua memiliki kedudukan yang sangat penting dan diutamakan. Banyak
riwayat yang menunjukkan betapa besar hak orang tua atas anak-anaknya, serta
bagaimana hubungan ini tidak hanya terkait dengan interaksi antar pribadi dalam
keluarga, melainkan juga berhubungan erat dengan keridhaan Allah ﷻ. Sebagaimana perkataan
sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu `anhu,
رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ،
وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Keridhaan Allah berada pada keridhaan kedua orang tua,
dan murka Allah berada pada kemurkaan kedua orang tua.” (HR Al-Bukhari, no. 2 dalam
al-Adabul Mufrad, disahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Hadis ini menunjukkan bahwa kedudukan orang tua begitu
sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim, hingga keridhaan Allah pun
tergantung pada keridhaan orang tua. Sebaliknya, kemurkaan Allah juga terletak
pada kemurkaan orang tua. Oleh karena itu, perilaku dan sikap terhadap orang
tua bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi juga merupakan salah satu aspek
penting dalam hubungan seorang Muslim dengan Allah.
Tulisan ini disadur dari kajian Serial Rukun Iman berjudul “Mengevaluasi Peran Orang Tua” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).
Youtube Terbaru





Artikel Terbaru




