Menjemput Rizki Lewat Silaturahmi
Menjemput Rizki Lewat Silaturahmi

 

Di dalam Al-Qur’an, Allah berulang kali memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada sesama, terlebih kepada orang tua dan kerabat dekat. Sebagaimana dalam firman-Nya,

 

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ... 

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat…”

(QS An-Nisa: 36)

 

Perintah itu sangat jelas, menyembah Allah semata, lalu langsung disusul dengan seruan untuk berbuat baik kepada orang tua dan kerabat.  Masih dalam surat yang sama, Allah juga menekankan tentang keutamaan menjaga hubungan kekerabatan,

 

وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا 

“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sungguh, Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An-Nisa: 1)

 

Dalam ayat ini, Allah menyebut kata “al-arham” yang bermakna menjaga rahim bukan sekadar menyambung tali silaturrahim, tetapi lebih dari itu, menjaganya berarti menghidupkannya dengan kebaikan dan perhatian. Demikian juga Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menyambung silaturrahim. Beliau bersabda,

 

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”

(HR Bukhari no. 6143)

 

Hadis ini menunjukkan bahwa menyambung silaturahim bukan sekadar hal baik yang dianjurkan, tetapi merupakan bagian dari bukti keimanan seseorang. Orang yang benar-benar percaya kepada Allah dan hari akhir pasti akan menjaga amalan-amalan tersebut.

Amalan pertama adalah memuliakan tamu. Perlu dibedakan antara tamu (ḍhaif) dan orang yang sekadar berkunjung (zaa’ir). Secara umum, kita sering menyebut siapa pun yang datang ke rumah sebagai tamu. Namun, dalam istilah syar'i, tamu yang dimaksud adalah seseorang yang datang dari luar kota dan biasanya membutuhkan tempat menginap serta jamuan makan.

Berbeda halnya dengan (zaa’ir), yaitu orang yang hanya datang untuk berkunjung tanpa kebutuhan menginap. Maka, ketika ada tamu dari luar kota, terlebih lagi di masa lalu, atau bahkan hingga kini di desa-desa yang belum memiliki fasilitas penginapan, memuliakan mereka adalah hal yang sangat penting. Bayangkan jika mereka tidak disambut dan tidak diberi tempat bermalam, ke mana mereka harus pergi?

Dulu, belum ada hotel seperti sekarang. Bahkan restoran pun tidak sebanyak dan semudah diakses seperti saat ini. Oleh karena itu, menjamu tamu pada masa itu bukan hanya bentuk kehormatan, tetapi juga menjadi kebutuhan nyata. Sekarang pun, meski tamu bisa dengan mudah memesan hotel, kewajiban kita untuk menghormati dan memuliakan mereka tetap berlaku, minimal menyambut dengan hangat, menyediakan makanan, dan memastikan mereka merasa diterima.

Amalan kedua yang menunjukkan keimanan kepada Allah dan hari akhir adalah menyambung tali silaturahim.

 

Silaturahim berarti menjalin hubungan dengan karib-kerabat, menjaga kedekatan, serta mempererat hubungan keluarga dan kekerabatan.

 


Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,

 

“Adapun silaturahim adalah berbuat baik kepada para kerabat, sesuai dengan keadaan orang yang ingin menyambung dan orang yang disambung. Kadang berupa pemberian harta, kadang dengan bantuan tenaga, kadang dengan kunjungan, salam, dan bentuk kebaikan lainnya.”

(Syarah Shahih Muslim, 2/201)

 

Sebagian orang kerap salah paham dalam memaknai silaturahim, dengan menganggap bahwa segala bentuk interaksi atau hubungan sosial dengan orang lain sudah termasuk silaturahim. Tidak jarang kita mendengar seseorang berkata, “Eh, aku mau silaturahmi ke rumahmu, ya,” padahal yang dimaksud bukanlah kerabat atau keluarga dekat, melainkan teman lama dari masa SMA, teman kuliah, atau rekan kerja. Kemudian mereka berkata, “Saya orang yang suka silaturahmi,” padahal yang mereka lakukan hanyalah sekadar bertemu teman atau kolega.

Kesalahpahaman dalam memahami istilah agama seperti ini bisa berujung pada kesalahan dalam praktiknya di kehidupan sehari-hari.

Kata silaturahim berasal dari kata "rahim," yang menunjukkan adanya hubungan darah atau kekerabatan. Dalam Islam, silaturahim yang dianjurkan secara khusus adalah menjaga hubungan baik dengan keluarga dan kerabat. Tentu saja, Islam juga memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada sesama manusia, bahkan kepada hewan. Namun, yang lebih utama adalah berbuat baik kepada keluarga sendiri. Jika seseorang sudah rajin membantu orang lain atau bersedekah kepada yang miskin, tetapi justru abai terhadap keluarganya sendiri, maka itu menjadi kekeliruan yang perlu dikoreksi.

Berbuat baik kepada kerabat memiliki keutamaan yang lebih dibandingkan dengan berbuat baik kepada orang lain. Mengapa demikian? Karena…

“…berbuat baik kepada kerabat tidak hanya bernilai sedekah, tetapi juga bernilai menyambung tali silaturahim, yang sangat ditekankan dalam Islam.”

 


Sedangkan berbuat baik kepada orang lain tetap bernilai pahala, namun tidak sebesar pahala berbuat baik kepada kerabat.

Namun, ada tantangan tersendiri dalam berbuat baik kepada keluarga, yaitu pada keikhlasannya. Saat membantu orang lain, kita kerap mendapatkan pujian, misalnya, “Masya Allah, fulan yang bantu saya,” atau, “Dialah yang membangun masjid ini.” Tetapi ketika kita membantu kerabat, hal itu jarang diketahui atau diceritakan ke orang lain. Bahkan, sering kali pihak keluarga yang dibantu merasa malu untuk mengungkapkan bahwa mereka menerima bantuan, entah itu dalam bentuk uang, pendidikan, atau dukungan lainnya. Karena itulah, berbuat baik kepada kerabat memerlukan keikhlasan yang lebih besar, karena sering kali tidak disertai pujian atau pengakuan. Meskipun begitu, justru inilah yang lebih utama dan lebih dahulu diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

 

“Salah satu cara konkret untuk menyambung tali silaturahim adalah dengan menghafal nasab atau silsilah keluarga. Tujuannya bukan untuk berbangga diri, melainkan untuk menjaga dan mempererat hubungan kekeluargaan agar tidak terputus seiring waktu.”


 

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,


تَعَلَّمُوا ‌مِنْ ‌أَنْسَابِكُمْ ‌مَا ‌تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ، فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الأَهْلِ، مَثْرَاةٌ فِي المَالِ، مَنْسَأَةٌ فِي الأَثَرِ»: هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الوَجْهِ وَمَعْنَى قَوْلِهِ: «مَنْسَأَةٌ فِي الأَثَرِ

“Pelajarilah silsilah keluargamu (nasab) yang dapat membantumu menyambung tali silaturahim. Karena sesungguhnya silaturahim itu akan menumbuhkan rasa kasih di tengah keluarga, memperbanyak rezeki, dan memperpanjang umur (dalam arti keberkahan umur atau jejak kebaikan setelah meninggal dunia).”

(HR Tirmidzi no. 1979. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih(

 

Berbuat baik kepada kerabat, baik dengan lisan maupun perbuatan, adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Hampir setiap keluarga pasti memiliki anggota yang sukses secara ekonomi. Cobalah perhatikan keluargamu, pasti ada satu atau dua orang yang telah berhasil. Orang yang berada dalam posisi tersebut bisa memberikan kontribusi besar bagi keluarganya. Bahkan, tanpa perlu menyalurkan zakat atau sedekah ke luar, mereka bisa langsung menebar manfaat kepada keluarga terdekat.

Inilah salah satu cara Islam dalam mengentaskan kemiskinan, yaitu dengan mengajarkan pentingnya memperhatikan nasab dan memperkuat hubungan kekerabatan. Ketika kita mengetahui siapa saja anggota keluarga yang membutuhkan bantuan, maka kita bisa lebih mudah menyalurkan kebaikan kepada mereka.

Mengetahui siapa kerabat yang membutuhkan pertolongan juga membuka pintu pahala yang lebih besar.

  

“Ajaklah anak-anakmu untuk mengenal nasab keluarga. Dengan memahami siapa saja saudara dan kerabat kita, akan tumbuh rasa peduli dan keinginan untuk membantu.”


 

Hal ini bukan hanya soal memberikan bantuan materi, tetapi juga tentang membangun hubungan yang lebih erat, penuh kasih, dan saling mendukung.

Salah satu keutamaan menyambung silaturahim adalah hadirnya keberkahan dalam hidup, terutama dalam hal rezeki dan umur. Rasulullah mengajarkan bahwa menyambung tali silaturahmi membawa manfaat yang luar biasa, bukan hanya di dunia, tetapi juga sebagai bentuk ketaatan yang bernilai tinggi di sisi Allah . Dalam sabdanya, beliau berkata,

 

مَنْ ‌أَحَبَّ ‌أَنْ ‌يُبْسَطَ ‌لَهُ ‌فِي ‌رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah tali silaturahim.”

(HR Bukhari no. 5990)

 

Hadis ini mengingatkan kita bahwa menyambung hubungan dengan kerabat dapat membawa keberkahan dalam hidup. Rezeki yang dimaksud tidak selalu berbentuk uang, tetapi juga bisa berupa kebahagiaan, ketenangan hati, kesehatan, atau kemudahan dalam berbagai urusan. Dengan menyambung silaturahim, Allah membuka pintu-pintu rezeki yang mungkin sebelumnya tidak kita sangka.

Berbuat baik kepada kerabat tidak harus selalu dilakukan melalui kunjungan fisik. Salah satu cara yang lebih mudah dan praktis adalah dengan membuat grup keluarga, lalu saling menyapa dan mengirim salam di pagi hari. Hal sederhana seperti ini sudah termasuk bentuk silaturahim yang berarti. Dengan sekadar mengirimkan ucapan salam, kita telah menjalankan perintah Nabi Muhammad untuk menjaga hubungan kekeluargaan, meskipun tidak bertemu langsung. Meskipun tampak kecil, tindakan ini dapat mempererat tali persaudaraan dan mendatangkan keberkahan dalam kehidupan.

Kita juga bisa menjaga silaturahim dengan membagikan faedah, seperti artikel, video, atau informasi yang bermanfaat kepada keluarga. Ini bukan hanya menjaga hubungan, tetapi juga memberi nilai tambah berupa ilmu dan inspirasi. Cara ini memungkinkan kita tetap terhubung, sembari memberikan kontribusi positif bagi keluarga, tanpa harus bertatap muka. Semua ini adalah bentuk perhatian dan kasih sayang yang bisa mempererat hubungan antar-kerabat.

Terkadang, kesibukan harian membuat kita merasa tidak punya waktu untuk silaturahim. Namun, Allah memberikan kemudahan bagi siapa pun yang menjaga hubungan dengan kerabat. Bahkan dengan kunjungan singkat atau ucapan salam, Allah akan menambahkan keberkahan dalam waktu kita. Bisa jadi, pekerjaan yang biasanya memakan waktu berhari-hari, selesai lebih cepat karena keberkahan dari silaturahim.

Kini, dengan kemajuan teknologi, silaturahim menjadi lebih mudah. Kita bisa mengirimkan hadiah atau pesan kepada saudara meskipun jaraknya jauh. Misalnya, mengirim makanan, hampers, atau hadiah sederhana lainnya sebagai bentuk perhatian. Meskipun tidak datang langsung, perhatian yang tulus akan tetap sampai. Yang utama adalah niat yang ikhlas, bukan untuk dipuji, tapi karena ingin menjaga hubungan yang baik. Allah Maha Mengetahui setiap niat dan amal hamba-Nya.

 

“Allah senantiasa membuka pintu rahmat-Nya bagi siapa pun yang menjaga hubungan kekerabatan.”

 


Semoga setiap amal yang kita lakukan dalam rangka menjaga silaturahim menjadi ladang pahala yang terus mengalir di dunia maupun di akhirat. Semoga Allah memudahkan kita untuk selalu berbuat baik kepada keluarga dan mempererat tali kasih sayang di antara kita. Aamiin.

 



Tulisan ini disadur dari kajian berjudul Kultum Subuh - Mengais Rizki Lewat Silaturahmi  yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i STDIIS, Jember).